Tuberkulosis (TB)
adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Sebagian
besar kuman TB menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
Sumber penularan TB adalah pasien TB Paru BTA positif melalui percikan dahak
(droplet nuclei) yang dikeluarkan pada waktu batuk atau bersin. Menurut World Health Organization (WHO) saat ini
jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% jumlah pasien TB di dunia dan setiap
tahun terdapat 539.000 kasus baru dengan insidens kasus TB BTA positif sekitar
107 per 100.000 penduduk. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menyatakan penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit
stroke, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Berdasarkan data statistik rumah
sakit tahun 2007, TB menempati urutan pertama dalam proporsi penyakit menular
(27,8%) dan urutan ke-14 sebagai penyakit terbanyak di rawat inap, sedangkan
tahun 2008 menempati urutan ke-7 sebagai penyakit terbanyak di rawat jalan.
Pada tahun
1992, WHO telah mencanangkan TB sebagai Global
Emergency (kedaruratan dunia) dan pada tahun 1995 merekomendasikan strategi
DOTS sebagai salah satu langkah yang paling efektif dan efisien dalam
penanggulangan TB. Intervensi dengan strategi DOTS ke dalam pelayanan kesehatan
dasar (puskesmas) telah dilakukan sejak tahun 1995, sedangkan untuk institusi
pelayanan Rumah Sakit (RS) dan Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) atau
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) intervensi baru dilakukan secara
aktif sejak tahun 2000. Dan hasil survey prevalensi TB pada tahun 2004
menunjukkan pola pencarian pengobatan pasien TB ke Rumah Sakit ternyata cukup
tinggi, yaitu sekitar 60% pasien TB ketika pertama kali sakit mencari
pengobatan ke Rumah Sakit, sedangkan sisanya ke Puskesmas dan Praktik Swasta.
Pelaksanaan
DOTS di Rumah Sakit mempunyai daya ungkit dalam penemuan kasus (case detection
rate, CDR), angka keberhasilan pengobatan (cure rate, CR), dan angka
keberhasilan rujukan (succes referal rate, SRR). Adapun strategi DOTS terdiri
dari komitmen politis, pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya,
pengobatan jangka pendek yang terstandar bagi semua kasus TB dengan
penatalaksanaan kasus secara tepat termasuk pengawasan langsung pengobatan,
jaminan ketersediaan obat anti tuberkulosis (OAT) yang bermutu dan sistem
pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.